RSS

FAST TRACK

BEASISWA UNGGULAN, MENGGIRING PERBAIKAN KUALITAS HIDUP MANUSIA DAN BANGSA INDONESIA


Entah sudah berapa tahun lamanya negara kita, Indonesia, disebut sebagai negara berkembang. Ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar saja, Indonesia sudah menyandang predikat tersebut namun hingga kini masih belum bisa melangkah menjadi negara maju. Banyak hal sebenarnya yang menjadi faktor ketertinggalan negara kita dibanding negara lain, salah satunya dari kualitas pendidikannya.

Sumber daya alam Indonesia memang kaya, akan tetapi kekayaan itu akan semakin surut apabila tidak diimbangi dengan sumber daya manusia yang kaya pula. Sumber daya manusia Indonesia masih dikatakan rendah di tingkat global tetapi bukan berarti orang-orang Indonesia tidak berkualitas pemikiran atau sumber dayanya. Hanya saja jumlah manusia Indonesia yang berkualitas sumber dayanya masih sangat minim. Lihat saja beberapa ilmuwan yang sukses dan membawa nama harum bangsa dan negara Indonesia seperti Bapak B.J. Habibie. Ini menjadi bukti konkret bahwa manusia Indonesia sebenarnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berkualitas, tetapi mungkin terhalang oleh beberapa masalah klasik seperti masalah finansial.

Tidak dapat dipungkiri memang, biaya pendidikan di Indonesia terbilang cukup mahal mengingat masih banyak warga Indonesia yang tidak mampu mengenyam bangku sekolah apalagi kuliah. Selain itu, masih cukup banyak pula tenaga pendidik yang kualitasnya masih belum begitu expert dalam bidangnya. Mengapa demikian? Mungkin bisa dikatakan dalam pepatah jawa, “lha wong untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan keluarga aja masih harus pontang-panting, gimana mau mikirin nerusin kuliah?” Oleh karena itu, tidak sedikit pula tenaga pendidik yang enggan meneruskan kuliah ke jenjang yang lebih expert. Bahkan lebih banyak lagi orang yang tidak berpikiran menjadi tenaga pendidik, umumnya mayoritas lebih memilih menjadi pegawai, pengusaha, atau entrepreneur yang mana mungkin lebih terlihat menjanjikan bagi kehidupan mereka.

Akan tetapi kini ada program beasiswa yang diselenggarakan oleh Dikti bagi para pendidik dan tenaga pendidik untuk melanjutkan studi ke program master dan doktoral. Beasiswa tersebut dinamakan Beasiswa Unggulan.

Program Beasiswa Unggulan menurut Permendiknas RI Nomor 20 Tahun 2009 disebutkan merupakan pemberian bantuan biaya pendidikan oleh pemerintah Indonesia atau pihak lain berdasarkan atas kesepakatan kerjasama kepada putera-puteri terbaik bangsa Indonesia dan mahasiswa asing yang terpilih. Tujuan utama dari program beasiswa ini adalah untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi serta meningkatkan kuantitas dan kemampuan profesionalisme tenaga pendidik sesuai kualifikasi akademik. Oleh karena itu, sasaran program ini adalah mereka-mereka yang memiliki prestasi, seperti peraih medali Olimpiade, pemenang lomba, lulusan terbaik, lulusan cumlaude, dan lain sebagainya.

Dengan adanya program beasiswa ini diharapkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dapat meningkat sehingga mampu bersaing secara global dengan sumber daya manusia dari negara-negara lain, khususnya tenaga pendidiknya. Oleh karena itu, penerima beasiswa ini nantinya lebih diarahkan untuk menjadi tenaga pendidik sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban sekaligus rasa nasionalisme untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara Indonesia di mata dunia.

Mari semangat berjuang kawan-kawanku, demi menciptakan Indonesia yang lebih baik, bukan sekedar impian belaka!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

CRITICAL REVIEW
KONSEP POLYCENTRIC URBAN REGION UNTUK PEMERATAAN PEMBANGUNAN DI BALI


A.   PENDAHULUAN
Wilayah menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memiliki definisi sebagai suatu ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Isard (1975) menambahkan bahwa wilayah merupakan suatu area yang memiliki arti karena adanya masalah-masalah yang ada di dalamnya sedemikian rupa, bukan hanya sekedar areal dengan batas-batas tertentu sehingga ahli regional memiliki ketertarikan di dalam menangani permasalahan tersebut, khususnya karena menyangkut permasalahan sosial dan ekonomi. Permasalahan sosial ekonomi tersebut utamanya sangat berkaitan dengan pengembangan atau pembangunan wilayah itu sendiri. Pembangunan secara filosofis merupakan suatu upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistis (Rustiadi, 2009). Dalam pengembangan suatu wilayah ada berbagai konsep yang digunakan, seperti konsep pengembangan wilayah agropolitan, megapolitan, growth pole, minapolitan, waterfront city, sustainable development, dan lain sebagainya. konsep-konsep tersebut dapat digolongkan sebagai konsep pengembangan wilayah basis ekonomi, ekologi, sosial, dan teknologi. Salah satu konsep pengembangan wilayah yang berbasis ekonomi adalah konsep pengembangan polycentric urban region.

B.    CRITICAL REVIEW
Artikel “Mewujudkan Pemerataan Pembangunan di Bali Melalui Konsep Polycentric Urban Region” yang ditulis oleh I Nyoman Gede Maha Putra (2010) secara umum membahas tentang pengembangan wilayah-wilayah di Bali melalui kerjasama antar wilayah yang mana dalam lingkup perencanaan wilayah dan kota akan merujuk pada konsep polycentric urban region.  Di dalam artikelnya tersebut, I Nyoman Gede Maha Putra juga menjelaskan tantang konsep umum polycentric urban region dan implementasinya di Bali. Meijers (dalam Putra, 2010) mendefinisikan Polycentric Urban Region (PUR) sebagai kumpulan wilayah atau kota yang independen secara administratif dan politik, memiliki perbedaan sejarah yang terletak dalam jarak yang berdekatan, serta terkoneksi dengan baik melalui infrastruktur dan tidak terdapat satu wilayah yang lebih dominan dibandingkan wilayah lain secara politis, ekonomi, budaya, dan aspek-aspek lainnya. Dari definisi Meijers tersebut, maka menurut I Nyoman Gede Maha Putra kabupaten-kabupaten dan/atau kota-kota di Bali memiliki potensi untuk membentuk PUR guna memeratakan pembanguna wilayah di Bali, khususnya dalam hal ekonomi. Hal ini dikarenakan kabupaten dan kota di Bali masih belum menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam hal kerjasama antar wilayah sehingga wilayah yang memiliki potensi ekonomi (wisata) yang tinggi akan semakin kaya dan wilayah yang tidak memiliki potensi ekonomi (wisata) akan semakin miskin. Oleh karena itu, penerapan konsep ini di Bali akan sangat potensial diterapkan untuk berkembang secara bersama-sama membentuk wilayah dengan beberapa pusat (polisentris). Sebelumnya sebenarnya sudah ada kerjasama wilayah-wilayah di Bali seperti Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan yang membentuk SARBAGITA. Namun tingkat keberhasilan dari hal ini dinilai masih minim karena seperti kerjasama di bidang transportasi masih belum menunjukkan hasil yang signifikan dan di bidang persampahan ternyata juga belum mampu mengatasi semua persoalan. Oleh karena itu, dalam wacana PUR di Bali kerjasama-kerjasama yang dapat digagas antara lain di bidang transportasi, lalu-lintas, pembangunan spasial, perumahan, lapangan pekerjaan, hubungan ekonomi, dan bidang-bidang lain yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial.

Konsep Polycentric Urban Region sebenarnya telah populer sejak tahun 1900-an dan telah tersebar luas dalam debat-debat akademisi seperti ahli geografi atau ahli ekonomi dengan orang-orang yang sudah profesional dalam hal perencanaan dan pembuatan kebijakan (Romein, 2004). Hal ini dikarenakan cara pandang yang digunakan antara akademisi dan perencana dalam memandang konsep ini bereda. Riset empirik-analitis yang dilakukan oleh akademisi lebih terfokus pada interaksi inter-urban, mayoritas adalah pada tendensi fungsional pasar, seperti perumahan, tenaga kerja, ekonomi, budaya, rekreasi, dan pelayanan sosial. Sedangkan perencana lebih fokus pada tipe region sebagai pelaku dibandingkan hanya sebagai ruang (Keating dalam Romein, 2004). PUR sebagai pelaku bertujuan untuk memperkuat posisinya di dalam persaingan antar teritori. Jadi, dari perdebatan antara akademisi dan planner tersebut intinya adalah pada kerjasama inter-urban, motif strategi, dan aksi yang sinergi. Bahkan menurut Bailey dan Turok (2001) PUR lebih memiliki potensi keunggulan yang kompetitif dari wilayah metropolitan. Hal ini dikarenakan apabila kerjasama antar wilayah tersebut sukses, maka akan dapat meningkatkan pencapaian tujuan yang umum dimiliki oleh seluruh wilayah dalam region tersebut. Konsep PUR ini telah banyak diimplementasikan di negara-negara Eropa seperti RANSTAD AREA di Belanda, RheinRuhr di Jerman, Flemmish Diamond di Belgia, dan lain sebagainya.
Dari artikel tersebut, memang benar bahwa dengan melakukan kerjasama antar wilayah maka akan mengurangi terjadinya disparitas antar wilayah karena wilayah-wilayah yang saling bekerja sama tersebut akan saling menunjang satu sama lain. Misalnya, wilayah Badung memiliki daya tarik pariwisata, wilayah Tabanan dan Bangli memiliki potensi pertanian, serta Karangasem, Buleleng, dan Gianyar yang memiliki potensi sumberdaya manusia yang tinggi dapat dipadukan menjadi wilayah Bali yang multi nucleon. Apalagi, perkembangan suatu wilayah perkotaan yang cepat akan lebih baik dikembangkan dalam pola polisentris dibandingkan monosentris (Arya, 2010).

Namun memang seperti apa yang dikatakan oleh I Nyoman Gede Maha Putra dalam artikel tersebut bahwa penerapan konsep PUR ini harus melihat Bali sebagai kesatuan wilayah dengan banyak pusat bukan wilayah yang terpisah-pisah sehingga akan mampu menata seluruh sistem perwilayahan (ekonomi, sosial, dan aspek lainnya) secara sinergis. Selain itu, pemerataan pembangunan antar wilayah-wilayah yang bersinergi tersebut harus mengambil peran yang sehat (tidak bersaing secara kotor). Kelembagaan pemerintah-pemerintah terkait pun juga harus kuat dan sinergi sehingga kerjasama antar wilayah melalui konsep PUR ini  tidak hanya penggabungan wilayah-wilayah saja tetapi benar-benar merupakan suatu perencanaan pengembangan wilayah secara sinergi guna mengurangi disparitas dan meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat.

C.    PENUTUP
Pembahasan Critical Review artikel “Mewujudkan Pemerataan Pembangunan di Bali Melalui Konsep Polycentric Urban Region” dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.       Konsep PUR (Polycentric Urban Region) merpakan konsep pengembangan wilayah yang menekankan kerjasama dan sinergitas antar wilayah-wilayah guna mengurangi disparitas wilayah.
2.       Penerapan konsep PUR di Bali ini sangat potensial untuk diterapkan tetapi juga harus memperhatikan kesinergian aspek-aspek, wilayah, dan kelembagaan terkait agar tidak hanya menjadi konsep penggabungan wilayah saja.
3.       Dalam penerapan konsep PUR di Bali juga perlu ditekankan pada satu hal bahwa seluruh wilayah harus saling menunjang satu sama lain dan berkompetisi dengan sehat.


D.   DAFTAR PUSTAKA
Arya, Romy Pradhana, 2010, Bab III RPJMD Jatim 2009-2014, http://romypradhanaarya.wordpress.com/2010/06/09/bab-iii-rpjmd-jatim-2009-2014/ (diakses tanggal 29 Maret 2011).


Putra, I Nyoman Gede Maha, 2010, Mewujudkan Pemerataan Pembangunan di Bali Melalui Konsep Polycentric Urban Region, http://mangde.wordpress.com/2010/05/17/mewujudkan-pemerataan-pembangunan-di-bali-melalui-konsep-polycentric-urban-region/ (diakses tanggal 28 Maret 2011).


Romein, Arie, 2004, Spatial Planning In Competitive Polycentric Urban Regions: Some Practical Lessons From Northwest Europe, Paper Submitted to City Futures Conference , Chicago IL, 8 Juli 2004.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

CRITICAL REVIEW
PENDEKATAN ECOREGION DALAM PENATAAN RUANG WILAYAH BERKAWASAN PESISIR


A.   PENDAHULUAN
Wilayah pesisir menurut Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil memiliki definisi sebagai suatu daerah peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Karena dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut, maka pengelolaan wilayah pesisir perlu dilakukan secara khusus dan lebih kompleks. Dalam undang-undang tersebut juga disebutkan, khususnya pada pasal 5 bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengelolaan tersebut selanjutnya disebutkan dalam pasal 6 harus dilakukan secara terpadu dengan cara mengintegrasikan kegiatan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; antar pemerintah daerah; antar sektor; antara pemerintah, dunia usaha (swasta), dan masyarakat; antara ekosistem darat dan ekosistem laut; serta antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu ini sudah mulai dilakukan di Indonesia. Hal ini terbukti dengan dibentuknya 5 ecoregion di seluruh Indonesia, yakni ecoregion Sumatera, Balinusa (Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat), Sumapapua (Sulawesi, Maluku, Papua), Jawa, dan Kalimantan. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ecoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil juga disebutkan bioekoregion adalah suatu bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus. Oleh karena itu, konsep pengelolaan wilayah pesisir secara tepadu dengan menggunakan pendekatan ecoregion diharapkan dapat membantu merencanakan pengembangan wilayah pesisir agar lebih maju dan tidak mengalami disparitas serta ketertinggalan dibanding wilayah lain karena selama ini wilayah pesisir sering kali dianggap sebagai wilayah tertinggal.

B.    CRITICAL REVIEW
Makalah “Pendekatan Ecoregion Dalam Penataan Ruang Wilayah Berkawasan Pesisir” yang ditulis oleh Dr. Edwarsyah, S.P., M.P. yang pernah menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Kelautan Universitas Teuku Umar ini secara garis besar membahas tentang konsep penataan ruang wilayah ekologis terpadu sebagai penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan ecoregion dalam tahap perencanaan tata ruangnya. Pendekatan ini digunakan karena beliau berpendapat bahwa permasalahan utama dalam pengelolaan wilayah pesisir adalah kurangnya pemahaman tentang adanya keterkaitan biofisik dan sosial ekonomi antara wilayah hulu dan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) sehingga menjadi kendala dalam upaya penyelesaian menyeluruh atas permasalahan lingkungan yang semakin meningkat di kawasan pesisir dan laut. Keterkaitan antara wilayah pesisir dan DAS ini ditambahkan pula oleh beliau dapat disyaratkan dari adanya peningkatan permintaan akan sumber daya air, produksi bahan makanan dari lahan beririgasi, pemakaian bahan kimia (pupuk, pestisida), dan semakin banyaknya jumlah penduduk di kawasan pesisir. Oleh karena itu, unsur pesisir dan DAS tidak dapat dipisahkan dalam konteks perencanaan wilayah secara keseluruhan dimana wilayah pesisir dan DAS juga merupakan bagian wilayah yang berperan penting dan strategis, baik ditinjau dari aspek ekonomi maupun ekologi sehingga pengelolaan wilayah pesisir juga akan sangat berkaitan dengan pengelolaan DAS yang mana menggunakan pendekatan DAS (watershed-based-management) yang mengintegrasikan berbagai skala kegiatan, disiplin, maupun sektor pembangunan. Beliau juga menghimbau bahwa perencanaan tata ruang wilayah ekologis (ecoregion) sebaiknya menggunakan batasan wilayah perencanaan berupa wilayah ekologis DAS (bukan batasan administratif) yang akan mengintegrasikan aspek daratan di hulu (up-land) serta aspek pesisir dan laut secara simultan (land-sea interaction).

Untuk mencapai tujuan penulisan makalahnya, yakni perumusan konsep penataan ruang wilayah ekologis terpadu sebagai penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan ecoregion, ada dua sasaran yang harus dicapai terlebih dahulu, yakni identifikasi faktor dan elemen yang mempengaruhi penataan ruang wilayah ekologis suatu DAS terpadu (pendekatan ecoregion) yang sesuai dengan kaidah pembangunan berkelanjutan dan suatu konsep pendekatan ecoregion dalam penataan ruang wilayah berkawasan pesisir. Sedangkan metode yang digunakan oleh beliau untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut adalah dengan menggunakan Model Sistem Dinamik yang dimaksudkan untuk mengamati kegiatan sektor pembangunan dominan yang meliputi kegiatan permukiman, pertanian, dan industri di sekitar kawasan hulu sampai dengan hilir dan total dampaknya terhadap kawasan pesisir yang mana kemudian disimulasikan beberapa skenario sebagai representasi dari intervensi kebijakan untuk memperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sebab-akibat kegiatan manusia dengan lingkungan sekitarnya serta interaksi sebab-akibat perubahan tata guna lahan terhadap pendapatan penduduk di berbagai sektor yang mana faktor-faktor tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penataan ruang wilayah yang berkelanjutan.

Dari metode penelitian dengan menggunakan Model Sistem Dinamik tersebut ternyata didapatkan 6 skenario, yakni skenario sesuai dengan data historis saat ini (status quo), skenario kebijakan dengan prioritas pada peningkatan kegiatan pertanian, skenario kebijakan dengan prioritas pada peningkatan kegiatan industri, skenario kebijakan dengan prioritas pada peningkatan kegiatan penghijauan, skenario kebijakan dengan menggunakan pendekatan keterpaduan pembangunan, dan skenario kebijakan keterpaduan pembangunan dengan komposisi perubahan konversi lahan. Dari skenario-skenario tersebut kemudian didapatkan hasil penelitian yakni terdapat 5 faktor yang berpengaruh dalam perencanaan tata ruang wilayah ekologis (pendekatan ecoregion), antara lain faktor ekonomi yang direpresentasikan melalui kebutuhan konversi lahan, faktor ekologis yang berkaitan dengan kemampuan alamiah (badan sungai/ekosistem pesisir) untuk mendukung kegiatan pembangunan, faktor alokasi ruang secara proporsional, faktor pendekatan keterpaduan, dan faktor pendapatan penduduk. Intinya, konsep pendekatan ecoregion suatu DAS atau wilayah pesisir memiliki 4 komponen penting, yakni batasan wilayah perencanaannya didasarkan pada kesamaan karakteristik fenomena alami (natural domain), kawasan pesisir sebagai dasar penataan ruang kawasan di bagian hulunya, pendekatan keterpaduan (integrasi ekosistem darat dan laut, integrasi perencanaan sektoral, integrasi perencanaan vertikal, integrasi sains dan manajemen), dan alokasi ruang yang proporsional (lahan alami minimal 30%).

Pembahasan makalah tersebut dalam konteks perumusan konsep perencanaan tata ruang wilayah ekologis (ecoregion) di wilayah pesisir dan DAS yang menghasilkan beberapa faktor yang berpengaruh dan komponen-komponen pentingnya saya rasa sudah baik dan cukup representatif karena ditunjang pula oleh hasil penelitian yang penulis lakukan. Akan tetapi, penulis sepertinya masih belum menyertakan faktor sumber daya manusia yang mungkin meliputi pemberdayaan masyarakat serta kearifan lokal masyarakat setempat. Padahal, dalam proses mendapatkan faktor-faktor dan komponen-komponennya, penulis juga mengkaji mengenai interaksi kegiatan manusia dan dampaknya terhadap kualitas lingkungan tetapi masih belum benar-benar membahas keterkaitan kegiatan manusia secara holistik terhadap dampak yang ditimbulkan di wilayah pesisir atau DAS tersebut. Penulis hanya mendapatkan faktor pendapatan penduduk sebagai salah satu hal yang mempengaruhi kualitas lingkungan wilayah pesisir dan DAS dalam konsep pendekatan ecoregion. Sedangkan menurut saya, masyarakat dengan sumber daya manusianya dan berbagai kearifan lokal yang dimilikinya, sangat berperan penting dalam pembangunan dan pengembangan suatu wilayah, khususnya wilayah pesisir. Yunan Isnainy dalam tulisannya “Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Berkelanjutan” (2009) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan sustainable development dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi yang dinamis. Beliau juga menambahkan bahwa melalui upaya pemberdayaan tesebut, maka masyarakat didorong agar memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara optimal serta terlibat secara penuh dalam mekanisme produksi, ekonomi, sosial, dan ekologinya.

Nasikun (2000:27) juga berpendapat bahwa paradigma pembangunan juga harus berprinsip bahwa pembangunan harus pertama-tama dan terutama harus dilakukan atas inisiatif dan dorongan kepentingan-kepentingan masyarakat, masyarakat harus diberi kesempatan untuk terlibat di dalam keseluruhan proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunannya, termasuk pemilikan serta penguasaan aset infrastrukturnya sehingga distribusi keuntungan dan manfaat akan lebih adil bagi masyarakat. Supriharyono (2002) juga menyebutkan bahwa pengelolaan sumber daya alam pesisir pada hakikatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia atau masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar pemanfaatan sumber daya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan. Hal ini melandasi wawasan pengelolaan sumber daya lokal (community-based management) yang merupakan suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut (Carter, 1996 dalam Latama, 2002) dan merupakan suatu pendekatan pengelolaan sumber daya alam yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya (Nikijuluw, 1994 dalam Latama, 2002). Pendapat Nikijuluw ini selanjutnya juga mengarah pada kearifan lokal masyarakat setempat.

Keraf (2002) mengatakan bahwa kearifan lokal/tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa kearifan lokal/tradisional tersebut merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan dan bagaimana harus bertindak khususnya di bidang pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam pesisir. Oleh karena itu, dalam penataan ruang wilayah berkawasan pesisir dengan menggunakan pendekatan ecoregion ini juga tidak bisa mengesampingkan faktor masyarakat atau sumber daya manusia di dalamnya sebagai salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan tata ruangnya.

Selain itu, satu hal yang juga mungkin harus digarisbawahi adalah dalam implementasi rencana penataan ruang berkawasan pesisir dengan menggunakan pendekatan ecoregion tersebut harus terlebih dahulu mengetahui dan mengidentifikasi karakteristik wilayah pesisirnya seperti apa yang dikatakan oleh penulis sebagai suatu natural domain atau kesamaan karakteristik fenomena alami. Hal ini dikarenakan karakteristik pesisir di masing-masing wilayah berbeda sehingga boleh jadi konsep utama ecoregion ini sudah benar dengan didukung oleh hasil penelitian penulis, tetapi realisasinya mengalami kegagalan karena tidak mempertimbangkan kondisi karakteristik wilayah pesisir yang dikaji dan perbedaannya dengan wilayah pesisir lainnya. Oleh karena itu, penerapan konsep ecoregion ini paling penting harus memperhatikan faktor ekonomi, faktor ekologi (terutama karakteristik pesisirnya), faktor alokasi ruang secara proporsional, faktor pendekatan keterpaduan, faktor pendapatan penduduk, dan faktor sumber daya manusia (terkait pemberdayaan masyarakat dan kearifan lokal masyarakat setempat).

C.    PENUTUP
Pembahasan makalah “Pendekatan Ecoregion Dalam Penataan Ruang Wilayah Berkawasan Pesisir” yang ditunjang dengan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Edwarsyah, S.P., M.P. memberikan dua hasil :
1.       Faktor-faktor yang berpengaruh dalam perencanaan tata ruang wilayah ekologis (pendekatan ecoregion), antara lain faktor ekonomi, faktor ekologis, faktor alokasi ruang secara proporsional, faktor pendekatan keterpaduan, dan faktor pendapatan penduduk.
2.       Komponen-komponen dalam pendekatan ecoregion, antara lain batasan wilayah perencanaan (didasarkan pada kesamaan karakteristik fenomena alami/natural domain), kawasan pesisir (sebagai dasar penataan ruang kawasan di bagian hulunya), pendekatan keterpaduan (integrasi ekosistem darat dan laut, integrasi perencanaan sektoral, integrasi perencanaan vertikal, integrasi sains dan manajemen), dan alokasi ruang yang proporsional.
Namun, hal itu saja masih belum cukup untuk merealisasikan pendekatan ecoregion. Perlu dipertimbangkan juga faktor masyarakat atau sumber daya manusia untuk mendukung konsep pembangunan berkelanjutan. Dengan kata lain, penerapan konsep ecoregion harus memperhatikan faktor ekonomi, faktor ekologi (terutama karakteristik pesisirnya), faktor alokasi ruang secara proporsional, faktor pendekatan keterpaduan, faktor pendapatan penduduk, dan faktor sumber daya manusia (terkait pemberdayaan masyarakat dan kearifan lokal masyarakat setempat).

D.   DAFTAR PUSTAKA
Edwarsyah, 2010, Pendekatan Ecoregion Dalam Penataan Ruang Wilayah Berkawasan Pesisir, http://edwarsyah10.wordpress.com/2010/08/19/pendekatan-ecoregion-dalam-penataan-ruang-wilayah-berkawasan-pesisir/ (diakses tanggal 8 Maret 2011).

Isnainy, Yunan, 2009, Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Berkelanjutan, http://www.pemberdayaan.com/pembangunan/pemberdayaan-masyarakat-dan-pembangunan-berkelanjutan.html (diakses tanggal 8 Maret 2011).

Stanis, Stefanus dkk., 2007, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Melalui Pemberdayaan Kearifan Lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur, Jurnal Pesisir Laut, Nomor 2, Volume 2, Januari 2007 : 67-82.

Syafii, Syafruddin, 2010, Tangani Lingkungan dengan “Ecoregion”, http://syafrudin-syafii.blogspot.com/2010/11/tangani-lingkungan-dengan-ecoregion.html (diakses tanggal 8 Maret 2011).

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS